Cerpen ini karya pribadi saat mengikuti lomba cerpen yang diadakan metropoplover yang berpartisipasi dengan penerbitharu. Even #terHARU –> (http://menulismetropop.wordpress.com/2013/09/09/2-all-you-can-read-karya-yemima-t-florensia/)
All You Can Read
Ray menahan langkahnya tepat di depan pintu kaca persewaan buku bernama ‘All You Can Read’. Bangunan itu tampak baik dan bersih, cat hijau tosca yang menghiasi dindingnya juga sangat bersahabat. Tapi itu semua tak cukup untuk meyakinkan hati Ray untuk masuk ke dalam sampai sebuah teguran memaksanya untuk melakukannya.
“Hey, tunggu apa lagi?” suara berat Jimmy membuyarkan otaknya yang sedang berperang dengan kenyataan.
Ray mendengus pelan, kepalanya tertunduk berat seolah benda itu terbuat dari bongkahan besi.
“Jika saja bukan karena tugas sialan itu,” gumamnya pelan, namun sahabat baiknya yang kini berdiri tepat di sampingnya bisa mendengar keluhan itu dengan jelas.
“Tak ada salahnya kan mampir di persewaan buku sekali-sekali? Setelah tugas ini selesai, kau tak perlu kembali lagi kemari,” ucapan Jimmy membuat Ray memicingkan mata.
Ray memang tak suka membaca, sangat tak suka. Baginya, membaca itu hanya membuang-buang waktu. Ray lebih memilih mendengarkan daripada membaca, begitu juga dengan cara belajarnya selama ini. Ray lebih cepat menangkap informasi melalui telinga daripada matanya. Membaca itu tidak asyik, dan tidak keren. Itulah yang ada di benaknya.
Ray sadar dari lamunannya saat pintu kaca di depannya berderak dan Jimmy sudah melangkah masuk terlebih dahulu. Dengan langkah gontai Ray masuk ke ruangan panjang itu. Di hadapannya kini terpampang jejeran rak-rak kayu panjang setinggi sekitar 1,5 meter. Rak-rak itu tidak akan membuat Ray mual seperti sekarang, jika saja isinya bukanlah buku-buku tebal.
“Sangat tidak keren.” gumamnya lagi. Ray lebih suka melihat rak-rak berisi ratusan CD di toko kaset daripada buku-buku seperti ini. Persewaan buku, perpustakaan, apalah itu macamnya, adalah tempat paling membosankan baginya. Hening, sunyi, dan tidak asyik. Itulah pendapatnya.
Ray menepuk pundak Jimmy yang kini sedang berdiri di barisan rak di pojok ruangan. Jimmy yang terlihat sedang mencari-cari buku seketika terkejut karena tepukan Ray yang cukup keras. “Yak! Kau mengagetkanku saja. Ini sudah ketemu.” Jimmy mengacungkan sebuah buku tentang Desain Komunikasi Visual. Mereka memang mendapatkan tugas kuliah untuk membuat makalah tentang buku itu. Tugas kuliah yang mengantarkan Ray untuk menginjakkan kaki di sini.
“Ya sudah. Cepat ke kasir, bakso tadi sore bisa-bisa keluar dari perutku jika lama-lama berada di sini.” ucap Ray ketus.
Jimmy berdecak dan melihat Ray dengan tatapan aneh. “Kau jorok sekali.”
Ray dan Jimmy kini sedang berada di depan kasir, alis mata Ray yang sedari tadi memicing tiba-tiba terangkat saat melihat seorang gadis penjaga kasir yang sedang membaca sebuah buku kecil ber-coverkuning-hijau. Rambut cokelatnya yang tebal diikat tinggi ke belakang persis seperti buntut kuda, matanya yang besar menatap buku di hadapannya dengan antusias, sudut bibirnya yang kecil terangkat sedikit. Sedetik kemudian tawanya meledak.
“Buahahaha..” tawa gadis itu mengagetkan Jimmy dan Ray, membuat Ray mengalihkan pandangannya dengan segera.
“Permisi?” suara Jimmy membuat gadis itu tersentak,lalu menoleh ke arah mereka. Mata besarnya membulat dan tawanya terhenti seketika.
“Ah, maaf.” katanya lalu bangkit dari kursinya. “Mau meminjam buku apa?” tanyanya ramah, lalu seulas senyum kembali muncul di wajahnya.
Jimmy menyodorkan sebuah buku yang sedari tadi dibawanya. “Ini, berapa harganya?”
“Ah, Anda harus membuat kartu anggota sebelum meminjam. Silakan isi formulir ini terlebih dahulu,” jelasnya sambil menyodorkan sebuah kertas formulir dan pulpen.
Jimmy meraih kertas dan pulpen itu, lalu menyerahkannya pada Ray yang kini sedang mematung seperti orang bodoh di sebelahnya. “Kau saja yang isi.”
“Apa?” Ray hanya bisa melongo sambil menatap seonggok kertas di hadapannya.
____
‘Gadis buntut kuda’ yang mencuri perhatiannya seminggu yang lalu itu kini membuat Ray kembali lagi berdiri di depan persewaan buku ‘All You Can Read’. Jimmy yang sedang sibuk rapat di kampus memaksa Ray untuk mengembalikan buku itu seorang diri, namun sepertinya ada sesuatu yang membuat Ray tak bisa menolak permintaan Jimmy.
Ray melangkahkan kaki untuk masuk ke persewaan buku, dengan langkah lebar ia menuju ke arah kasir. Sosok yang sangat dirindukannya kini berdiri dengan senyum manis di balik meja kasir. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya gadis itu pada Ray. Tiba-tiba lidah Ray menjadi kelu, lututnya serasa lemas ketika melihat senyum si gadis buntut kuda. Ya, rambut coklatnya kini masih terikat seperti buntut kuda.
Tanpa berkata-kata Ray menyerahkan buku yang dipinjamnya beserta kartu anggota atas namanya itu pada si gadis. Si gadis buntut kuda menerima buku itu, lalu membuka-buka isi buku untuk mengecek keadaannya. Matanya melebar saat menemukan secarik kertas hijau muda di antara lembaran buku.
“Apa buku yang kau baca kemarin? Aku penasaran, buku apa yang bisa membuat gadis manis sepertimu tertawa terbahak-bahak.”
Gadis itu tersenyum simpul, lalu menatap Ray yang kini tahu-tahu sudah berlari menuju pintu keluar.
“Hey!” panggilan gadis itu membuat langkah Ray terhenti. Dengan muka merah padam menahan malu, Ray berbalik. Ia mengutuki dirinya sendiri yang jail menyelipkan note di buku itu.
“Ini. Kembalikan tepat waktu ya,” gadis itu menyerahkan buku kecil yang familier di mata Ray, beserta kartu anggota yang tak sengaja Ray tinggal begitu saja di meja kasir. Ray mengangguk dan menyerahkan selembar uang pada si gadis. Lalu melangkah dengan kikuk dan senyum merekah di wajahnya. Ia tahu, gadis itu menyelipkan secarik kertas di dalam buku itu.
____
“Judulnya : Bi! Novel ini bisa membunuh waktu senggangmu dengan ceritanya yang lucu dan seru. Selamat membaca!”
Tulisan gadis itu saja bisa membuat Ray tersenyum seperti orang gila, pandangan Ray beralih dari noteitu ke buku kecil di tangannya. Ah tidak, bukan buku, novel tepatnya. Sedetik kemudian Ray memicingkan matanya, senyumnya pun hilang.
“Hey, sejak kapan aku berniat untuk membaca?”
____
Ray kalah dengan ego dan image ‘anti membaca’ yang ia jalani selama ini, hanya karena seorang gadis! Jimmy sampai mencibir dan tertawa tergelak habis-habisan mengetahui Ray meminjam novel yang biasa dibaca oleh para gadis. Image nya runtuh seketika, namun Ray sepertinya tidak peduli. Rasa penasarannya pada si gadis buntut kuda membuatnya menjadi pribadi yang berbeda. Hampir setiap tiga hari sekali ia meminjam novel dan saling menyelipkan note balasan dengan gadis itu.
“Membaca buku memang membosankan, tapi kurasa novel adalah pengecualian.”
Ray hampir tak dapat membendung emosinya saat melihat gadis buntut kuda menangis sesenggukan membaca sebuah novel di balik meja kasir kemarin. Hari ini, Ray yang kembali di depan meja kasir sedang menyodorkan novel Oppa & I yang terakhir dipinjamnya, novel yang bercerita tentang kisah si kembar Jae In dan Jae Kwon. Novel yang direkomendasikan oleh gadis buntut kuda karena ceritanya yang menghibur, gadis itu memang sering membaca novel terbitan Penerbit Haru. Di note terakhirnya, Ray bertanya mengapa gadis itu selalu membaca novel dengan penerbit yang sama. Namun jawabannya di note membuat Ray bingung tak mengerti, karena gadis itu hanya menuliskan sebuah kalimat singkat.
“Haru Syndrome makes me addicted.”
Ray menyerahkan novel Oppa & I dengan senyum kecil di wajahnya, ia sangat jarang mengobrol dengan gadis itu, ia hanya mengucapkan sepatah dua patah kata seperlunya, begitu juga dengan gadis buntut kuda yang kini tampak malu-malu menerima novel itu. Gadis buntut kuda membuka per lembar kertas novel bersampul biru-pink itu dengan hati-hati, seperti biasa ia menemukan secarik kertas dan membaca isinya.
“Apa itu Haru Syndrome?”
Kali ini aku penasaran dengan novel yang membuatmu menangis itu. Seperti apa ceritanya hingga membuatmu begitu menghayati? Oh ya, Oppa & I sangat tipis tapi seru juga, aku menghabiskannya hanya dalam sehari. Itu rekor baru seumur hidupku!
Gadis itu membaca dengan senyuman khas seperti biasa, diliriknya Ray yang kini sedang menunggu dan menggaruk-garuk kepalanya dengan kikuk. Ia mencari sebuah buku yang dimaksud oleh Ray di antara rak-rak buku, setelah itu diraihnya secarik kertas dan mulai menuliskan hitam diatas putih.
“Selamat atas rekormu! Haha.. Kali ini judulnya After D-100, konfliknya sedikit berat tentang sebuah cerita rumah tangga. Jika kau berhati lembut, pasti akan menangis membacanya. Seperti aku.. Hehe.. Oh ya, tentang Haru Syndrome, googling saja sana! ^^”
Gadis itu menyelipkan note-nya dan menyerahkan novel setebal 382 halaman itu pada Ray. Ray menyerahkan kartu anggota dan biaya persewaan, setelah kartu anggota miliknya telah dikembalikan, Ray melambai pada si gadis dan keluar dari tempat itu dengan senyum merekah seperti biasanya.
____
Ray menutup halaman terakhir novel After D-100 dengan senyuman. “Akhirnya rumah tangga Gyung Hee dan Jung Chul berakhir bahagia,” gumamnya. Sedetik kemudian senyumnya hilang saat mendengar suara Jimmy di belakangnya.
“Seorang Rayhan yang cool sekarang hobi membaca buku-buku ber-cover super imut hanya karena mendekati seorang gadis kasir di persewaan buku. Romantis sekali, sepertinya ceritamu ini wajib dibukukan juga. Judulnya pasangan kutu buku. Hahaha..”
Ray menatap Jimmy dengan tajam, Jimmy menahan tawanya saat melihat respons Ray yang terlihat hampir saja mengeluarkan tanduk di kepalanya.
“Aku membaca novel, bukan membaca buku-buku pelajaran tebal yang membosankan dengan bantuan kacamata yang sama tebalnya. Itu namanya bukan kutu buku!”
“Lalu apa? Kutu novel? Ahahaha..” gurauan Jimmy membuat Ray mendengus pelan, ia tak bisa marah. Kata-kata Jimmy ada benarnya, dirinya memang berubah sejak mengenal gadis itu. Ray jadi terbiasa membaca fiksi, Ray selalu ingin membaca apa yang gadis itu baca.
“Oh ya, omong-omong siapa nama gadis kasir itu?” Pertanyaan Jimmy membuat Ray seperti tertampar. Ray baru sadar, ia belum tahu siapa nama si gadis buntut kuda.
____
Ray tertunduk lesu dengan secarik kertas yang sudah dibacanya berkali-kali. Sore tadi ia datang lagi ke ‘All You Can Read’ untuk mengembalikan novel After D-100 dan tentu saja untuk menemui si gadis buntut kuda dan menyerahkan note yang mungkin akan menjadi note terakhir yang bisa ia berikan. Namun kenyataan berkata lain, gadis yang berdiri di belakang meja kasir bukanlah gadis buntut kuda yang biasa ia temui. Saat Ray menanyakan ke mana gadis yang biasa menjaga kasir, kalimat yang keluar dari mulut penjaga kasir baru membuat Ray perlahan menarik kembali note yang sempat ia selipkan dan keluar dari tempat itu dengan lemas tanpa berniat meminjam novel apa pun, bahkan mungkin ia takkan kembali ke tempat itu lagi sampai kapan pun.
“Saya penjaga kasir baru yang menggantikan penjaga kasir yang lama. Maaf, saya tidak tahu orang yang anda maksud.”
_____
“Tenanglah, jika memang berjodoh. Kau pasti akan menemukan gadis itu lagi.” Jimmy berusaha menghibur kawannya yang sudah sebulan ini sangat tidak bersemangat. Siapa lagi kalau bukan si malang Rayhan.
“Aku ke kantin dulu, perutku selalu lapar jika melihat tampangmu yang begitu terus,” ucap Jimmy seraya berdiri dan meninggalkan Ray yang kini sedang termenung di lobi kampus. Ray masih tak bisa melupakan si gadis buntut kuda. Ray mengutuki dirinya sendiri yang sangat bodoh hingga tak sempat menanyakan siapa nama gadis itu, bahkan mereka tak bertukar nomor ponsel padahal sudah bertukarnote berkali-kali. Kini penyesalannya telah menjadi bubur dan tidak akan bisa berubah kembali menjadi nasi.
Ray yang baru saja sadar bahwa ia sudah ditinggalkan oleh Jimmy tiba-tiba berdiri dan berpaling hendak mencari sahabatnya itu. Hampir saja Ray melangkahkan kaki, tatapannya terhenti pada seorang gadis dengan rambut cokelat dikuncir kuda yang kini sedang melangkah menuju gerbang keluar.
“Hah, begitu rindukah aku padanya? Sampai-sampai aku bisa berhalusinasi seperti ini.” Ray tertunduk dan menggumam seorang diri. Tapi sedetik kemudian ia tersadar, lalu mengucek-ucek matanya dan kembali mencari sosok itu.
Absurd.
Gadis itu sudah tidak ada, Ray memang sedang berhalusinasi.
Ray hampir saja terjungkal saat seseorang menepuk pundaknya, ditolehkannya kepalanya dan sedetik kemudian ia termangu melihat si gadis buntut kuda yang berdiri di hadapannya. Gadis itu memiringkan kepalanya dan tersenyum heran.
“Ray?”
Ray mengucek kembali matanya, sebelum sedetik kemudian ia sadar sepenuhnya. Ray sedang tak berhalusinasi, ini nyata!
“Gadis buntut kuda!” teriaknya terlampau senang. Membuat gadis itu menatapnya bingung.
“Apa katamu?”
Ray yang sadar akan ucapannya langsung mengelak. “Ah, tidak-tidak. Kenapa kau bisa ada di sini?”
“Aku mendaftar kuliah di sini. Kau mahasiswa sini? Kebetulan sekali!” ucap gadis itu bersemangat. Ray sama sekali tak menemukan ekspresi malu-malu yang biasa ia dapatkan di persewaan buku.
“Iya. Kebetulan sekali. Ahh, hemm..” Ray salah tingkah, rasanya ia sudah kelewat bahagia. “Bagaimana kau tahu namaku?” lanjutnya bingung setelah sadar bahwa tadi gadis itu sempat menyebut namanya.
“Tentu saja aku tahu, kau kan punya kartu anggota All You Can Read.”
Ray menepuk dahinya dan pada akhirnya sadar betapa bodoh pertanyaannya. Seakan mengingat sesuatu, Ray mengeluarkan secarik note yang sedikit kucel dari dalam saku jeansnya. Diserahkannya pada gadis di hadapannya itu dengan tampang malu-malu. Gadis itu langsung tersenyum seolah mengingat sesuatu dan mulai membaca note itu.
“Aku sudah mencari tahu tentang Haru Syndrome, dan kurasa kau telah menularkan penyakit itu padaku. Hehe.. Oh ya, meski ceritanya menarik dan sangat menyentuh tapi aku tak sampai menangis saat membaca After D-100, tapi bukan berarti hatiku tidak lembut ya! Oh ya, omong-omong.. Siapa namamu? Kita belum berkenalan ya! ^^”
Gadis itu kembali mengembangkan senyuman malu-malu yang biasa ia perlihatkan di persewaan buku. Ditatapnya Ray yang kini sedang tertunduk menahan pipinya yang hampir merah padam. Gadis itu mengeluarkan secarik kertas, berniat untuk membalas note yang seharusnya diterimanya sebulan lalu itu. Namun ia mengurungkan niatnya dan memasukkan kembali kertas itu. Gadis buntut kuda itu memilih untuk menjulurkan tangan kanannya pada Ray dan berkata, “Namaku Rey. Reyna.”